Chapter 21: Geng Kapak
Chapter 21: Geng Kapak
"Bagaimana? Apakah sudah nendang?" Randika merapikan pakaiannya dan menginjak punggung si Rubah.
Si Rubah mengeluarkan darah dari kepalanya dan terlihat menyedihkan.
"Siapa kau?" Si Rubah meludahkan seteguk darah dan tersenyum, "Bajingan macam mana yang berani datang ke sini dan mengancamku?"
Randika tersenyum. "Hahaha.. kau sok kuat tapi lihatlah dirimu. Bajingan ini bahkan hanya butuh satu gerakan maka dia bisa membunuhmu."
Hening. Hanya ada keheningan.
"Baiklah kalau begitu, kalau kau ingin sok kuat dan masih ingin membuktikan dirimu maka pertanyaan-pertanyaanku bisa kita tunda dulu." Setelah kata-kata Randika ini selesai, badan si Rubah sudah terlempar.
Hanya dengan satu tangan, Randika melempar si Rubah ke arah tembok. Namun sebelum dia menabrak, Randika menarik keras lengan si Rubah.
Dengan suara nyaring, tulang bahu si Rubah copot dari sendinya.
"Ah!"
Si Rubah benar-benar kesakitan dan berkucur keringat dingin di seluruh tubuhnya. Suaranya yang sok kuat sudah menjadi rintihan sakit yang menyedihkan.
Randika tersenyum dan mengatakan, "Kenapa? Apakah tanganmu baik-baik saja? Sini kubantu."
Si Rubah yang melihat Randika mendekat segera panik. Randika kemudian hanya mengeluarkan jempolnya dan menekan keras pada tulang bahunya.
"Tidak! Hentikan!" Si Rubah merasa telah bertemu dengan sang maut. Lengannya sudah mati rasa dan sendi yang ditekan keras oleh Randika benar-benar membuatnya kesakitan. Dia berharap bahwa musuhnya ini segera membunuhnya.
Cara efektif membuat orang berbicara adalah membuatnya kesakitan dan ketakutan. Randika tahu bahwa si Rubah ini bukanlah dalang sebenarnya jadi dia perlu informasi.
"Hei jangan khawatir kawan, itu tadi hanya hidangan pembuka. Sebentar lagi aku akan memberikan hidangan utamanya." Pada saat yang sama, tulang jari telunjuk si Rubah telah dipatahkan oleh Randika.
"Tolong hentikan!" Si Rubah ingin pergi dari sini secepatnya. Jeritan minta ampunnya ini benar-benar menyedihkan.
Mendengar ini, Randika bertanya kembali. "Lho ada apa? Bukankah ini jauh lebih nendang dari obat-obatanmu?"
Si Rubah menghela napas dalam-dalam. Dari tatapan mata Randika, si Rubah sudah mengerti bahwa penyiksaannya ini belum selesai. Ketika pria ini memegang jari tengahnya, si Rubah pun berteriak minta ampun. "Tolong jangan! Aku sudah tidak kuat! Aku akan mengatakan segalanya yang ingin kau dengar." Si Rubah mulai ketakutan akan kehilangan nyawanya.
Masih dalam posisi menginjak dan menindih si Rubah, Randika bertanya. "Apakah kamu yang berulah di perusahaan Cendrawasih tadi siang?"
Si Rubah mengangguk.
"Aku ingin mendengarnya darimu." Randika menancapkan pisau di samping wajah si Rubah.
"Kelompok kami yang melakukannya." Kata si Rubah tergesa-gesa, dia tidak ingin membuat orang ini marah.
"Siapa yang menyuruhmu melakukannya?"
Si Rubah ragu-ragu untuk mengatakannya, tetapi dia melihat Randika mengambil pisau yang tertancap dan hendak mengayunkannya pada dirinya. "Itu bosku, bosku yang menyuruh kita melakukannya. Kami tidak bisa menolak karena kami adalah bawahannya."
"Siapa nama bosmu?" Tanya Randika. "Jangan membuatku bertanya lagi padamu!"
"Kakak tertua kami bernama Macan. Kelompok kami adalah geng kapak. Kami telah menguasai 1/5 dari seluruh kota ini. Penyerangan perusahaan Cendrawasih berasal dari perintah kakak tertua kami. Dia memerintahkan beberapa dari kami untuk datang ke sana dan menghancurkan segalanya."
Si Rubah mengatakannya hanya dalam satu tarikan napas, dia sekarang terengah-engah. Melihat tatapan mata Randika, dia telah menyadari bahwa nyawanya berada di tangan pria ini jadi dia tidak berani berbuat macam-macam maupun berbohong.
"Di mana markasmu?"
"Tidak jauh dari sini, 1 kilometer dari sini. Di sanalah markas kami."
"Bawa aku ke sana." Randika kemudian berdiri sambil mengangkat si Rubah.
"Ah?" Si Rubah mulai takut kembali. Dia tidak ingin bahwa kelompoknya tahu bahwa dia telah memberitahu segalanya pada pria ini.
"Jangan khawatir, hari ini nama geng kapak tidak akan terdengar lagi di kota ini." Kata Randika dengan nada santai.
.....
Tak jauh dari sana, di suatu ruangan terdapat seorang laki-laki berbadan besar dengan kumis yang tebal. Dia tampak seperti perompak.
Di bangunan ini terdapat lebih dari selusin orang-orang elit dari geng kapak dengan pakaian serba hitam mereka. Di ruangan lelaki berbadan besar itu, terlihat seorang lelaki sedang terkapar di lantai. Dia menatap linglung ke arah bos geng kapak tersebut dengan kepalanya yang mengucurkan darah.
"Bah, siapa yang bilang bahwa geng kapak hanya bisa bermain secara licik dan sembunyi-sembunyi? Kalau bukan karena aku yang memimpin kelompok ini, geng kapak sudah lama tidak ada di kota ini."
Si Macan menghela napas dalam-dalam, "Katakan padaku Dimas, apakah aku naif atau polos? Dunia bawah tanah adalah tempat hina. Aku sebagai pemimpin geng kapak kecewa dengan kinerjamu. Lebih baik kau tidak usah berada di dunia seperti ini dan momong saja anakmu. Itu lebih cocok untuk pria lemah kayak kamu!"
"Hahahaha!"
Para geng kapak ikut tertawa.
"Apakah kau tidak pernah berpikir bahwa aku bisa melahapmu hidup-hidup? Geng kecilmu itu menyedihkan." Macan berdiri dan mengangkat Dimas, "Aku hanya tidak ingin mencoreng namaku dengan menghadapi ikan teri macam kalian. Kau dan gengmu sama-sama menyedihkannya."
"Hahaha!" Dimas pun ikut tertawa. "Apakah benar begitu? Kalau kelompokku lemah mengapa kau mengeroyokku sendirian? Apakah bukan karena kalian takut dengan kita?"
Pria di sampingnya segera menendang Dimas dan si Macan mendekat dan menjambak untuk mengangkat kepalanya si Dimas, "Ikan teri macam kamu berani berkata sok di depanku? Lebih baik cepat katakan di mana kau mendapatkan obat-obatanmu? Jika kau mengatakannya maka aku akan membebaskanmu."
Dimas kembali meraung kesakitan tetapi tatapan wajahnya masih terlihat garang. "Jika kalian ingin barangku, maaf aku sudah lupa di mana aku mendapatkannya."
Macan pun mengeluarkan secarik kertas dan menunjukan sebuah alamat kepada Dimas.
Melihat alamat yang tertera pada kertas itu, wajah Dimas segera berubah.
"Kita mempunyai hukum sendiri mengenai bagaimana kita menjalankan usaha di dunia bawah tanah ini. Kau berani melanggarnya?" Kata Dimas dengan nada muram.
"Hahaha peduli setan dengan hal seperti itu." Macan mengerti maksud Dimas dan hanya tertawa.
"Baiklah, aku akan memberitahu di mana aku mendapatkan barang-barangku." Raut wajah Dimas dipenuhi oleh rasa dendam. Dia lalu melihat lekat-lekat ke wajah Macan. Dia bersumpah akan membalas dendam.
"Kalau begitu cepat katakan."
Setelah memberitahu detail mengenai lokasi barang-barangnya, Dimas mengatakan. "Aku memberitahumu satu hal. Jika kau terus seperti ini, suatu hari nanti geng kapak akan hancur dan kau akan mati."
Ketika mendengarnya, Macan tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, "Membunuhku? Geng kapak tidak akan pernah hancur di bawah perintahku!"
"Lihat saja nanti!"
Pada saat ini, pintu ruangan ini sudah didobrak oleh Randika. Nampaknya dia memakai tubuh seorang bawahan geng kapak untuk mendobrak jatuh pintu tersebut.
Semua orang terkejut dan terdiam ketika melihat tubuh teman mereka yang jatuh di depan mereka. Mereka lalu melihat sosok Randika yang masuk ke dalam ruangan.
Suasana canggung ini berlangsung sekitar 5 detik lalu seluruh orang di dalam ruangan kembali tertawa.
Macan pun berkata dengan nada mengancam, "Hei bocah, apakah kau tidak tahu di mana kau sekarang? Kau berada di markas geng kapak dan kau berani berbuat seenakmu sendiri? Nyari mati?"
"Bocah ini pasti sudah gila. Pasti ibunya sudah khawatir karena anak bodohnya ini tidak pulang-pulang!"
"Hei bos, dia datang untuk mati kenapa kita tidak memberikannya saja?"
Semua anggota geng kapak masih tertawa dan mengejek kehadiran Randika.
Dengan senyum tipis, Randika menyeret si Rubah masuk ke dalam ruangan dan melemparnya.
Melihat rambut merahnya si Rubah, wajah para anggota geng kapak segera berubah. "Bocah berengsek! Kau tidak akan pulang hidup-hidup hari ini!"
"Bos, biarkan aku yang mengurus bocah bau kencur ini." Setelah mengatakan itu, orang ini menghampiri Randika dan mengatakan, "Aku akan mengajarkannya bahwa dunia itu kejam."
Namun dia tidak akan menyangka bahwa dia berjalan mendekati ajalnya. Dalam sekejap, sosok Randika menghilang dari hadapannya dan muncul kembali di belakangnya. Dengan tenaganya yang kuat, dia membanting pria tersebut.
Karena saking kuatnya dan momentum yang dia dapat darinya, pria itu segera tewas di tempat.
"Banyak bacot." Randika meludah di tubuh pria itu. "Berikutnya."
Kali ini suasana dalam ruangan menjadi tegang. Para anggota geng kapak lainnya mengetahui bahwa lawannya kali ini tergolong hebat. Hanya dalam satu detik dia bisa melumpuhkan salah satu anggotanya.
Macan mengedipkan matanya untuk memberikan sinyal kepada salah satu bawahannya. Orang tersebut berdiri dan menatap tajam kepada Randika. Dia lalu menerjang maju sambil mengeluarkan pisaunya.
Randika hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia kembali menyatu dengan bayangan. Karena pria ini sudah menerjang maju, dia tidak bisa berhenti mendadak meskipun sudah melihat sosok Randika yang menghilang. Ketika dia mulai melambat, Randika sudah berada di belakang pria ini dan mengambil tangannya yang memegang pisau dan menusukkannya ke dalam dada pria tersebut.
Randika kemudian melepaskan pria itu dan kembali menatap seluruh orang yang ada di dalam ruangan.
"Untuk menghemat waktu, bagaimana kalau kalian semuanya maju bersamaan?" Katanya dengan santai. "Jangan repot-repot meminta bantuan, bantuan kalian itu akan bertemu dengan kalian di neraka."
Mendengar hal ini, wajah semua orang menegang. Bahkan pimpinan mereka, si Macan, juga ikut waspada. Lawan mereka kali ini sangat kuat.
Setelah tidak ada respon, Randika memutuskan untuk menerjang maju.
"Serang!" Melihat Randika yang menuju ke arahnya, Macan segera memerintahkan bawahannya yang tersisa untuk membunuhnya.
Tapi sayang, mereka tidak bisa lari dari nasib tragis mereka.
Tubuh Randika sudah bagaikan naga. Dia segera meliuk-liuk dan menjatuhkan orang satu per satu tanpa mengalami luka satu pun.
"Ah!"
.....
Ketika mendengar jeritan itu, salah satu dari mereka melihat bahwa temannya telah jatuh ke lantai. Ketika dia kembali mengangkat kepalanya, dia sudah terpental oleh tendangan kaki yang kuat.
Randika yang fokus dengan sekelilingnya, segera menyadari bahwa ada serangan pisau dari arah belakangnya. Dalam sekejap dia melompat dan salto di udara dan sudah berada di belakang pria tersebut. Dia segera menangkap dan melempar pria tersebut ke arah temannya yang lain.
Orang yang dilemparnya itu setidaknya berbobot 80kg dan Randika berhasil mengangkatnya dengan mudah dan melemparnya. Dimas yang melihat hal ini masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Orang itu seperti sedang membuang sampah. Orang yang terlempar itu menabrak salah satu temannya dan pingsan karena benturan tersebut.
Di bawah kaki Randika, pisau yang tergeletak di tanah diambilnya dengan kaki lalu ditendangnya. Pisau segera melesat ke salah satu orang yang hendak menerjang dirinya dan menembus dada si pria tersebut!
Masih tersisa beberapa orang. Randika masih dalam keadaan tenang dan fokus. Setiap dia bergerak maka satu mayat bertambah.
Ini sudah bagaikan maut yang mengayunkan sabitnya. Setiap tebasan sabit tersebut, satu nyawa akan terpanen.
Dalam beberapa menit, sekeliling Randika sudah kosong dan banyak tubuh yang tergeletak tak bergerak di lantai.
Sebenarnya masih ada beberapa orang yang masih bisa berdiri tetapi setelah melihat temannya yang terluka ataupun terbunuh, mereka segera melarikan diri. Sedangkan Randika masih terlihat tenang, musuhnya tidak dapat menyentuh ujung bajunya sama sekali.
Ketika Dimas melihat keahlian Randika, dia tidak bisa untuk tidak tersenyum. "Macan, sudah kubilang karma pasti ada. Geng kapak akan habis hari ini juga!"
Randika menyadari bahwa tinggal seorang lagi yaitu bosnya. Dia menatap orang tersebut dan mengatakan, "Kau berikutnya."
Macan segera berkeringat dingin ketika mendengarnya. Apakah lawannya ini setan?
Setiap langkah yang diambil Randika, satu langkah mundur bagi Macan. Melihat bahwa dirinya sudah terpojok, Macan mengeluarkan pistolnya dari pinggangnya dan mengarahkannya pada Randika.
Randika masih terus melangkah maju dengan ekspresi datar.
"Hahaha! Mau sekuat apa pun dirimu, kau tidak akan bisa mengalahkan kecepatan peluru!"
Meskipun dirinya ditodong oleh pistol, Randika malah tampak tersenyum.
This chapter upload first at NovelBin.Com